Cantik,
seksi, lembut dan sangat menggoda. Itulah definisiku untuk Prabha penari yang
menjadi kembang sekolah tapi jika aku memuji bukan berarti aku menyukainya. Aku
hanya berkata jujur hanya orang munafik yang tidak mengakui kecantikannya
sayangnya semua kesempurnaan yang dia miliki membuat semua laki-laki
berlomba-lomba untuk memiliki hatinya termasuk dia. Ya Saputra—laki-laki yang
membuat jantungku berdegup kencang sejak awal memasuki sekolah. Laki-laki yang
membuatku selalu tersenyum puas saat matanya memandangku dan laki-laki yang
dengan lihainya memainkan gender saat
pulang sekolah. Laki-laki itu terlihat sangat tampan saat tangannya dengan
lihai memukul alat musik yang terbuat metal itu sehingga menciptakan nada indah
yang membuat hati bahagia. Sayangnya laki-laki itu sudah dimiliki oleh Prabha.
Aku
hanya bisa menahan nafas dan mengutuk Prabha saat melihat dua insan itu tengah
berbincang-bincang sepulang sekolah, atau sekedar bergandengan tangan menyusuri
sekolah. Aku cemburu, aku tidak suka tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku
hanya seorang penganggum Saputra, mungkin dia tidak tahu jika ada gadis iseng
yang selalu memperhatikannya di sekolah. Ada gadis yang tidak pernah
mengedipkan matanya saat sosoknya melintas di depan gadis itu. Aku memang
terlalu pemalu walaupun hanya untuk mengulurkan tangan berkenalan dengannya
apalagi Saputra adalah seniorku di sekolah.
Hari
itu aku melihat mereka berdua lagi. Prabha dan Saputra tengah duduk berdua di
depan koridor kelasnya, mereka bercakap-cakap nampaknya pembicaraan mereka
serius. Wajah Prabha dan Saputra sama-sama menyiratkan adanya ketegangan
diantara mereka. Aku ingin berhenti sebentar untuk mengamati dan menebak-nebak
apa gerangan yang terjadi diantara mereka tapi niatku urung karena
Anggun—sahabatku meraung-raung memintaku segera pulang. Rumahku dan Anggun
memang dekat jadi Anggun nebeng denganku saat berangkat ke sekolah.
“Wik,
kamu tidak usah mencampuri urusan orang lain. Ayo cepat pulang, aku ada pentas menari
nanti,” ujarnya sembari meraung-raung menarik-narikku.
Aku
dengan berat hati mengiyakan permintaan Anggun lagipula dia benar untuk apa aku
mencampuri urusan orang lain yang bahkan tidak mengenaliku?
*
Sore
itu saat aku sampai, rumah terlihat sepi seperti biasa hanya ada kakak
laki-lakiku yang sibuk merapikan properti tarinya. Ya, kakakku memang seorang
seniman tari yang sudah tersohor di daerah ini. Seniman muda jenius yang
kebetulan menjelma sebagai kakakku.
“Udah pulang, Wik?” tanyanya saat
melihatku berjalan menghampirinya.
“Menurut, Bli?”
Kakaku hanya tertawa kemudian dia
kembali berkutat dengan properti tarinya yang aku tidak hafal semua namanya.
Aku mendekatinya kemudian membantunya mengemasi properti tarinya. Aku sudah
handal dalam hal ini, sudah bertahun-tahun menjadi adiknya aku hafal dengan
pekerjaan kakakku. Tidak hanya kakakku rata-rata semua orang dikeluargaku
adalah seniman baik penari, penabuh, pelukis atau seorang sastrawan. Hanya aku
yang terlahir cacat, tanpa sedikitpun darah seni mengalir dalam darahku tidak
salah jika aku jadi olok-olok tetangga. Ibuku selalu memaksaku untuk ikut
sanggar tari. Aku pernah ikut dua tahun tapi berhenti, aku tidak menyukainya. Aku
rasa menari bukan jiwaku.
“Hari ini ada job dimana?”
“Di malam pembukaan festival di
alun-alun kota. Kamu nonton nanti kan?”
Aku diam ragu, sejujurnya aku malas
untuk menonton acara sendra tari. Sudah nontonnya berdesakan, malam-malam,
dingin, juga tidak ada teman untuk menonton. Aku baru ingin melontarkan
penolakan tapi mata besar kakakku terlebih dahulu memelototiku.
“Tidak ada alasan tidak nonton. Kamu
ini kenapa sih tidak pernah ingin menonton kakaknya pentas?” ujarnya dengan
nada kesal.
Aku hanya menggerutu pelan.
“Bukannya gitu...” aku sampai kehabisan alasan untuk kembali melontarkan
penolakan.
“Pokoknya nanti malam harus nonton
titik. Bli main jam delapan malam.”
Kakakku sudah selesai mengemas
propertinya tentu saja dengan bantuanku. Dia segera bangkit dan berjalan ke
kamarnya untuk memasukan perlengkapan make
up. Aku hanya bisa duduk membisu menatap punggung gagah itu. Kalau
seandainya aku tidak menonton tapi berpura-pura menonton aku amankan? Tapi
bagaimana jika dia tahu kalau aku berbohong? Mati. Ya, aku akan mati kena amuk.
*
Akhirnya
aku tiba di alun-alun kota jam delapan pas dan pertunjukan tari sudah dimulai
sejak setengah jam yang lalu. Aku datang sendiri, kebetulan Anggun ikut menari
dalam pertunjukan ini. Tugasku sekarang hanya menonton di barisan paling depan
sampai kakakku melihatku lalu pulang. Tapi melihat betapa ramai dan padatnya
alun-alun kota malam ini, sepertinya aku harus mengeluarkan semua tenaga untuk
berdesak-desakan agar aku bisa ada di barisan depan.
Dengan susah payah menyuruak
diantara padatnya menonton akhirnya aku sampai di barisan depan. Itu dia
kakaku! Laki-laki tampan yang berperan sebagai Rama. Lho? Rupanya ini sendra tari Ramayana? Mataku lalu menjelajahi
semua penari sampai akhirnya aku menemukan sosok Anggun yang berperan sebagai
rakyat wanita. Ah! rupanya dia hanya
kebagian peran kecil tapi laganya sombong sekali cerita padaku tentang
pertunjukannya.
“Bli
Bagus ganteng banget jadi Rama!” seruku dengan nada bangga. Siapa yang
tidak bangga melihat peran kakaknya begitu memukau berperan sebagai Rama.
Gerakan tariannya tegas dan cenderung berwibawa apalagi dengan paduan kostum
dan make up yang mempertegas
karakternya. Siapa bisa tidak terpukau oleh ketampannya?
“Kamu adiknya Bagus?”
Suara itu.... Aku menoleh, tatapan
kami saling bertemu. Mataku membulat, aku ingin menjerit. Tapi gengsiku
menghentikan segala gerakku. Dia—Kak Saputra!
Aku hanya bisa memberinya sebuah
anggukan lemah. “Kok kakak bisa ada disini?” tanyaku spontan.
“Ternyata benar kamu juniorku. Nama
kamu siapa?” dia lalu mengulurkan tangannya.
Aku masih shock. Dengan ragu aku membalas uluran tangannya. Dia mengajak
berkenalan duluan! “Ewik, nama aku Dewi tapi panggil saja Ewik.”
Jabatan tangan kami selesai setelah
dia melepas tangannya duluan. Kami lalu berbincang soal alamat rumah, pendapat
kita soal sendra tari malam ini, juga tentang Bli Bagus. Ternyata Kak Saputra muridnya Bli Bagus. Bli Bagus
sering mengajarinya memainkan gender,
dia juga mengaku kalau dia sangat mengidolakan kakakku sebagai seniman muda di
daerah ini. Aku tidak menyangka dunia begitu sempit.
“Kakak kan pinter main gender, kenapa tidak ikut ngiringin
tarinya?” tanyaku iseng.
Dia tertawa kecil sebelum menjawab
pertanyaanku. “Aku tidak sempat ikut, aku ada lomba juga lusa jadi sibuk
latihan tapi pacarku main kok disini. Itu dia!” telunjuk kanan Kak Saputra
menunjuk sesosok pemain perempuan yang sedang menari berhadapan dengan kakakku.
Aku memperhatikannya penari itu. Dia cantik, gerakannya gemulai dan sangat
lembut. Wajahnya bersinar terang seiring dengan aura pesona yang terpancar dari
tubuhnya. Dia begitu memukau, dia—astaga! Kenapa dia tidak sadar kalau Prabha
ikut bermain?
“Yang menjadi Sita?” tanyaku untuk
memastikan.
Kak Suputra lalu tersenyum sambil
mengangguk. Dia kembali menatap Prabha dengan mata berbinar-binar. Kami tidak
bicara lagi, kami fokus menonton sendra tari. Kak Saputra fokus dengan Prabha
sedangkan aku fokus dengan kekesalanku. Prabha! Gadis itu entah kenapa aku
membencinya karena membuatku terpukau. Taksu yang dimiliki penari itu begitu
besar!
*
Beberapa
hari selanjutnya setiap berpapasan Kak Saputra pasti menyapaku begitupula
sebaliknya. Rasanya sangat membahagiakan, senyum Kak Saputra sungguh manis, aku
bisa mati lama-lama melihatnya.
Suatu hari aku melihatnya memainkan gender sendirian di gazebo depan dekat
ruang guru. Kebetulan aku pulang terlalu sore karena harus mengerjakan tugas
sekolah. Awalnya aku hanya ingin tersenyum padanya tapi entah kenapa aku malah
menghampirinya. Dia berhenti memainkan gendernya
saat melihatku duduk di sampingnya.
“Kenapa berhenti? Lanjutin dong
kak.” Entah dapat keberanian dari mana aku berani menghampirinya dengan jarak
sedekat ini.
Dia hanya tersenyum seperti biasa
dan kembali memukul bilah-bilah metal itu. Aku menikmati permainannya. Kemampuannya
mungkin sudah setara dengan Bli Bagus.
Aku terus memperhatikan dia bermain. Saking menikmati permainanya aku sampai
memejamkan mataku. Mendengarnya bermain aku mendapat ketenangan, pelan-pelan
nada itu mulai melunak sampai akhirnya berhenti diakhiri oleh ketukan yang
khas. Aku lalu membuka mataku, yang pertama kali aku lihat lagi-lagi hanya
senyumannya. Senyuman yang bisa membuat aku meleleh.
“Kamu menikmati banget. Memangnya Bli Bagus tidak pernah memainkannya
untukmu?” tanya Kak Saputra.
Aku menggeleng. Aku lalu bercerita
tentang kesibuka Bli Bagus dengan jam
terbangnya sebagai seniman. Kami memang tidak terlalu dekat karena kesibukan Bli Bagus kadang aku hanya membantunya
kemas-kemas dan mengucapkan hati-hati saat dia pamit ingin pergi. Aku merasa
ada jarak diantara kami.
Kak Saputra mengusap bahuku. “Tidak
apa, dia pasti sibuk. Dia seniman hebat.” Dia mencoba menghiburku kami banyak
berbincang-bincang bahkan kami bertukar nomor ponsel niatnya aku ingin diajari
olehnya bermain gender. Tapi hanya
alasan saja sih, aku hanya ingin lebih dekat dengannya. Yiha!
*
Malam
itu pukul sebelas malam, aku keluar dari kamar untuk buang air kecil. Saat aku
berjalan menuju toilet yang letaknya cukup jauh samar-samar mendengar suara
orang. Saat aku dekati arah datangnya suara itu, rupanya dari kamar kakaku. Penasaran,
aku tempelkan telingaku di pintu kamar kakak. Tumben sekali? Semenjak dia putus
dengan pacarnya lima tahun yang lalu aku tidak pernah lagi memergokinya
menelpon malam-malam sambil tersenyum bahagia seperti itu. Samar-samar aku bisa
mendengar percakapan mereka, percakapan tidak penting. Aku jadi semakin yakin
kalau yang sedang ditelpon itu perempuan, karena kakakku memanggilnya
‘Gek’—panggilan untuk perempuan.
Semenjak putus dengan pacar
pertamanya lima tahun yang lalu kakakku terus menutup dirinya untuk cinta.
Betahun-tahun patah hati mengharap cinta yang sama dari mantannya yang sudah
jelas-jelas menyakitinya. Lima tahun dia tidak bisa move on, lima tahun juga dia menyibukan dirinya dan menutup hatinya
untuk wanita yang ingin mendekat. Apakah ini artinya dia sudah move on? Tapi siapa kira-kira gadis itu?
Entahlah, hanya kakak yang tahu. Aku lalu meninggalkan kamar kakakku saat
percakapan mereka tidak ada habisnya. Aku jadi lupa kalau tujuan awalku itu
buang air.
*
Sore
itu adalah jadwal rutinku berlatih gender
dengan Kak Saputra. Dia benar-benar penyabar, dia tidak pernah memarahi
kebodohanku. Dia malah memotivasiku agar bisa cepat belajar. Tidak sampai dua
minggu dengan frekuensi pertemuan hampir setiap hari kini aku sudah bisa
memainkan beberapa lagu. Ternyata masih ada bakat seni dalam darahku walaupun
hanya sedikit.
Anehnya
semenjak dia melatihku Kak Saputra sudah tidak pernah sama sekali membicarakan
Prabha? Bahkan saat aku menanyakan Prabha dia cenderung mengalihkan
pembicaraan. Apakah ada yang salah dengan hubungan mereka? Entahlah.
Hari
ini spesial, untuk merayakan keberhasilanku aku mentraktirnya mie ayam. Dia
tentu saja mengiyakan ajakanku ini. Entah kenapa kami jadi semakin dekat,
seperti dua orang sahabat baru. Sahabat? Tidak apa-apa kan?
*
Aku
pulang agak larut hari ini. Saat aku sampai di rumah Ibu dengan hebohnya
menghampiriku dengan raut wajah sumbringahnya. Dia menarikku masuk ke kamar,
wajahnya sangat bahagia.
“Wik,
tau enggak? Bli mu bawa pacar barunya
ke rumah!” seru Ibu bersorak kegirangan.
Mataku melotot. Aku tersenyum
sumbringah. Benar kan dugaanku waktu ini?! Aku ikut berdiri dan melompat-lompat
kegirangan bersama ibuku. “Yang bener? Akhirnya setelah lima tahun Bli Bagus akhirnya dapat pacar? Orangnya
gimana, Bu? Cantik?” tanyaku penasaran.
Ibuku mengangguk. “Cantik, dia
penari. Dia juga satu sekolah sama kamu.”
Aku melongo. “Satu sekolah? Intinya
selisih umurnya jauh dong sama Bli Bagus?”
“Iya, kira-kira lima tahunan gitu,
tapi enggak apa-apa. Yang penting ibu senang dia sudah ada pacar sekarang.”
Aku masih tidak percaya. Lima tahun?
Artinya dia kakak kelasku dong? Aku sudah tidak bisa menahan diri lagi. Dengan
mengendap-endap, aku mengintip kakakku dan pacarnya yang sedang berduan di
kamar. Walaupun di larang aku tidak peduli, dengan hati-hati aku sibak korden
jendela kamar kakakku. Pas sekali mereka berhadapan denganku jadi aku bisa
melihat dengan jelas wajah mereka. Mataku membulat saat melihat siapa gadis
yang tengah dipeluk oleh kakakku. Dadaku sesak, nafasku tercekat, mendadak
tubuhku terasa panas. Aku mengepalkan tanganku erat-erat.
Wajah itu, kulit itu, tubuh itu. Itu
Prabha!
Gila! Gadis itu gila!
Berani-beraninya dia! Dia kan pacar Kak Saputra? Kenapa berani-beraninya dia
memacari kakakku?
Aku tidak sanggup melihat
pemandangan menjijikan di depanku. Segera aku bangkit dan berjalan dengan kesal
ke kamar. Iya! Aku harus memastikan sesuatu!
Segera aku raih ponselku setelah
memencet beberapa tombol aku dekatkan ponselku ditelinga. Agak lama aku
menunggu sampai akhirnya orang itu mengangkat teleponku.
“Halo, Ewik. Ada apa?”
Aku nampak ragu untuk menanyakan hal
ini. Haruskan aku basa-basi dulu? Tidak, dia sudah tidak ada waktu. “Kak Saputra.
Kakak... masih pacaran sama Kak Prabha kan?” tanyaku langsung pada inti masalah.
Kak Saputra nampak kaget diujung
sana. Dia nampak ragu untuk menjawab pertanyaanku. Sampai akhirnya dia
menjawab. “Iya, kami masih pacaran. Kenapa?”
Tubuhku lemas, ponsel itu jatuh
karena tidak sanggup aku genggam lagi. Dadaku semakin sakit, gejolak amarah
dalam jiwa memuncak. Aku kepalkan tanganku erat-erat. Prabha! Apa yang salah
dengan gadis itu? Dia masih berpacaran dengan Kak Saputra tapi berani-beraninya
dia berpacaran dengan kakakku?! Apa kakakku tidak tahu soal hubungan mereka?
Tapi Kak Saputra pernah bercerita kalau dia dekat dengan Bli Bagus. Kalau memang begitu meningat usia hubungan Kak Saputra
dengan Prabha yang menginjak tiga tahun masa kakaknya tidak tahu kalau Prabha
pacar Kak Saputra?
Apa kakaknya tidak tahu? Atau
kakaknya sudah tahu tapi sudah terjebak pesona Prabha? Apa taksu si penari itu
begitu besar sehingga membutakan kakaknya? Prabha memang memiliki aura memikat
yang bisa menaklukan hati semua pria tapi apa harus kakaknya? Kenapa saat
kakaknya move on dia jatuh ke tangan
orang yang salah? Oh tuhan apa yang salah dengan orang-orang disekitarnya!
***
Foto from : http://www.seasite.niu.edu/indonesian/budaya_bangsa/balinese_dance/penari.lowres.jpg
Cerita ini hanya fiksi belaka, karya ini awalnya sempat saya kirim ke majalah remaja tapi ditolak atau apa soalnya gak ada kabar. Enjoy! Kalo disebarluaskan inget copyright! ;)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar