Senin, 10 Februari 2014

Taksu Sang Penari

Oleh : Widya Purnamasari


Cantik, seksi, lembut dan sangat menggoda. Itulah definisiku untuk Prabha penari yang menjadi kembang sekolah tapi jika aku memuji bukan berarti aku menyukainya. Aku hanya berkata jujur hanya orang munafik yang tidak mengakui kecantikannya sayangnya semua kesempurnaan yang dia miliki membuat semua laki-laki berlomba-lomba untuk memiliki hatinya termasuk dia. Ya Saputra—laki-laki yang membuat jantungku berdegup kencang sejak awal memasuki sekolah. Laki-laki yang membuatku selalu tersenyum puas saat matanya memandangku dan laki-laki yang dengan lihainya memainkan gender saat pulang sekolah. Laki-laki itu terlihat sangat tampan saat tangannya dengan lihai memukul alat musik yang terbuat metal itu sehingga menciptakan nada indah yang membuat hati bahagia. Sayangnya laki-laki itu sudah dimiliki oleh Prabha.
Aku hanya bisa menahan nafas dan mengutuk Prabha saat melihat dua insan itu tengah berbincang-bincang sepulang sekolah, atau sekedar bergandengan tangan menyusuri sekolah. Aku cemburu, aku tidak suka tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku hanya seorang penganggum Saputra, mungkin dia tidak tahu jika ada gadis iseng yang selalu memperhatikannya di sekolah. Ada gadis yang tidak pernah mengedipkan matanya saat sosoknya melintas di depan gadis itu. Aku memang terlalu pemalu walaupun hanya untuk mengulurkan tangan berkenalan dengannya apalagi Saputra adalah seniorku di sekolah.
Hari itu aku melihat mereka berdua lagi. Prabha dan Saputra tengah duduk berdua di depan koridor kelasnya, mereka bercakap-cakap nampaknya pembicaraan mereka serius. Wajah Prabha dan Saputra sama-sama menyiratkan adanya ketegangan diantara mereka. Aku ingin berhenti sebentar untuk mengamati dan menebak-nebak apa gerangan yang terjadi diantara mereka tapi niatku urung karena Anggun—sahabatku meraung-raung memintaku segera pulang. Rumahku dan Anggun memang dekat jadi Anggun nebeng denganku saat berangkat ke sekolah.
“Wik, kamu tidak usah mencampuri urusan orang lain. Ayo cepat pulang, aku ada pentas menari nanti,” ujarnya sembari meraung-raung menarik-narikku.
Aku dengan berat hati mengiyakan permintaan Anggun lagipula dia benar untuk apa aku mencampuri urusan orang lain yang bahkan tidak mengenaliku?
*
Sore itu saat aku sampai, rumah terlihat sepi seperti biasa hanya ada kakak laki-lakiku yang sibuk merapikan properti tarinya. Ya, kakakku memang seorang seniman tari yang sudah tersohor di daerah ini. Seniman muda jenius yang kebetulan menjelma sebagai kakakku.
            “Udah pulang, Wik?” tanyanya saat melihatku berjalan menghampirinya.
            “Menurut, Bli?”
            Kakaku hanya tertawa kemudian dia kembali berkutat dengan properti tarinya yang aku tidak hafal semua namanya. Aku mendekatinya kemudian membantunya mengemasi properti tarinya. Aku sudah handal dalam hal ini, sudah bertahun-tahun menjadi adiknya aku hafal dengan pekerjaan kakakku. Tidak hanya kakakku rata-rata semua orang dikeluargaku adalah seniman baik penari, penabuh, pelukis atau seorang sastrawan. Hanya aku yang terlahir cacat, tanpa sedikitpun darah seni mengalir dalam darahku tidak salah jika aku jadi olok-olok tetangga. Ibuku selalu memaksaku untuk ikut sanggar tari. Aku pernah ikut dua tahun tapi berhenti, aku tidak menyukainya. Aku rasa menari bukan jiwaku.
            “Hari ini ada job dimana?”
            “Di malam pembukaan festival di alun-alun kota. Kamu nonton nanti kan?”
            Aku diam ragu, sejujurnya aku malas untuk menonton acara sendra tari. Sudah nontonnya berdesakan, malam-malam, dingin, juga tidak ada teman untuk menonton. Aku baru ingin melontarkan penolakan tapi mata besar kakakku terlebih dahulu memelototiku.
            “Tidak ada alasan tidak nonton. Kamu ini kenapa sih tidak pernah ingin menonton kakaknya pentas?” ujarnya dengan nada kesal.
            Aku hanya menggerutu pelan. “Bukannya gitu...” aku sampai kehabisan alasan untuk kembali melontarkan penolakan.
            “Pokoknya nanti malam harus nonton titik. Bli main jam delapan malam.”
            Kakakku sudah selesai mengemas propertinya tentu saja dengan bantuanku. Dia segera bangkit dan berjalan ke kamarnya untuk memasukan perlengkapan make up. Aku hanya bisa duduk membisu menatap punggung gagah itu. Kalau seandainya aku tidak menonton tapi berpura-pura menonton aku amankan? Tapi bagaimana jika dia tahu kalau aku berbohong? Mati. Ya, aku akan mati kena amuk.
*
Akhirnya aku tiba di alun-alun kota jam delapan pas dan pertunjukan tari sudah dimulai sejak setengah jam yang lalu. Aku datang sendiri, kebetulan Anggun ikut menari dalam pertunjukan ini. Tugasku sekarang hanya menonton di barisan paling depan sampai kakakku melihatku lalu pulang. Tapi melihat betapa ramai dan padatnya alun-alun kota malam ini, sepertinya aku harus mengeluarkan semua tenaga untuk berdesak-desakan agar aku bisa ada di barisan depan.
            Dengan susah payah menyuruak diantara padatnya menonton akhirnya aku sampai di barisan depan. Itu dia kakaku! Laki-laki tampan yang berperan sebagai Rama. Lho? Rupanya ini sendra tari Ramayana? Mataku lalu menjelajahi semua penari sampai akhirnya aku menemukan sosok Anggun yang berperan sebagai rakyat wanita. Ah! rupanya dia hanya kebagian peran kecil tapi laganya sombong sekali cerita padaku tentang pertunjukannya.
            “Bli Bagus ganteng banget jadi Rama!” seruku dengan nada bangga. Siapa yang tidak bangga melihat peran kakaknya begitu memukau berperan sebagai Rama. Gerakan tariannya tegas dan cenderung berwibawa apalagi dengan paduan kostum dan make up yang mempertegas karakternya. Siapa bisa tidak terpukau oleh ketampannya?
            “Kamu adiknya Bagus?”
            Suara itu.... Aku menoleh, tatapan kami saling bertemu. Mataku membulat, aku ingin menjerit. Tapi gengsiku menghentikan segala gerakku. Dia—Kak Saputra!
            Aku hanya bisa memberinya sebuah anggukan lemah. “Kok kakak bisa ada disini?” tanyaku spontan.
            “Ternyata benar kamu juniorku. Nama kamu siapa?” dia lalu mengulurkan tangannya.
            Aku masih shock. Dengan ragu aku membalas uluran tangannya. Dia mengajak berkenalan duluan! “Ewik, nama aku Dewi tapi panggil saja Ewik.”
            Jabatan tangan kami selesai setelah dia melepas tangannya duluan. Kami lalu berbincang soal alamat rumah, pendapat kita soal sendra tari malam ini, juga tentang Bli Bagus. Ternyata Kak Saputra muridnya Bli Bagus. Bli Bagus sering mengajarinya memainkan gender, dia juga mengaku kalau dia sangat mengidolakan kakakku sebagai seniman muda di daerah ini. Aku tidak menyangka dunia begitu sempit.
            “Kakak kan pinter main gender, kenapa tidak ikut ngiringin tarinya?” tanyaku iseng.
            Dia tertawa kecil sebelum menjawab pertanyaanku. “Aku tidak sempat ikut, aku ada lomba juga lusa jadi sibuk latihan tapi pacarku main kok disini. Itu dia!” telunjuk kanan Kak Saputra menunjuk sesosok pemain perempuan yang sedang menari berhadapan dengan kakakku. Aku memperhatikannya penari itu. Dia cantik, gerakannya gemulai dan sangat lembut. Wajahnya bersinar terang seiring dengan aura pesona yang terpancar dari tubuhnya. Dia begitu memukau, dia—astaga! Kenapa dia tidak sadar kalau Prabha ikut bermain?
            “Yang menjadi Sita?” tanyaku untuk memastikan.
            Kak Suputra lalu tersenyum sambil mengangguk. Dia kembali menatap Prabha dengan mata berbinar-binar. Kami tidak bicara lagi, kami fokus menonton sendra tari. Kak Saputra fokus dengan Prabha sedangkan aku fokus dengan kekesalanku. Prabha! Gadis itu entah kenapa aku membencinya karena membuatku terpukau. Taksu yang dimiliki penari itu begitu besar!
*
Beberapa hari selanjutnya setiap berpapasan Kak Saputra pasti menyapaku begitupula sebaliknya. Rasanya sangat membahagiakan, senyum Kak Saputra sungguh manis, aku bisa mati lama-lama melihatnya.
            Suatu hari aku melihatnya memainkan gender sendirian di gazebo depan dekat ruang guru. Kebetulan aku pulang terlalu sore karena harus mengerjakan tugas sekolah. Awalnya aku hanya ingin tersenyum padanya tapi entah kenapa aku malah menghampirinya. Dia berhenti memainkan gendernya saat melihatku duduk di sampingnya.
            “Kenapa berhenti? Lanjutin dong kak.” Entah dapat keberanian dari mana aku berani menghampirinya dengan jarak sedekat ini.
            Dia hanya tersenyum seperti biasa dan kembali memukul bilah-bilah metal itu. Aku menikmati permainannya. Kemampuannya mungkin sudah setara dengan Bli Bagus. Aku terus memperhatikan dia bermain. Saking menikmati permainanya aku sampai memejamkan mataku. Mendengarnya bermain aku mendapat ketenangan, pelan-pelan nada itu mulai melunak sampai akhirnya berhenti diakhiri oleh ketukan yang khas. Aku lalu membuka mataku, yang pertama kali aku lihat lagi-lagi hanya senyumannya. Senyuman yang bisa membuat aku meleleh.
            “Kamu menikmati banget. Memangnya Bli Bagus tidak pernah memainkannya untukmu?” tanya Kak Saputra.
            Aku menggeleng. Aku lalu bercerita tentang kesibuka Bli Bagus dengan jam terbangnya sebagai seniman. Kami memang tidak terlalu dekat karena kesibukan Bli Bagus kadang aku hanya membantunya kemas-kemas dan mengucapkan hati-hati saat dia pamit ingin pergi. Aku merasa ada jarak diantara kami.
            Kak Saputra mengusap bahuku. “Tidak apa, dia pasti sibuk. Dia seniman hebat.” Dia mencoba menghiburku kami banyak berbincang-bincang bahkan kami bertukar nomor ponsel niatnya aku ingin diajari olehnya bermain gender. Tapi hanya alasan saja sih, aku hanya ingin lebih dekat dengannya. Yiha!
*
Malam itu pukul sebelas malam, aku keluar dari kamar untuk buang air kecil. Saat aku berjalan menuju toilet yang letaknya cukup jauh samar-samar mendengar suara orang. Saat aku dekati arah datangnya suara itu, rupanya dari kamar kakaku. Penasaran, aku tempelkan telingaku di pintu kamar kakak. Tumben sekali? Semenjak dia putus dengan pacarnya lima tahun yang lalu aku tidak pernah lagi memergokinya menelpon malam-malam sambil tersenyum bahagia seperti itu. Samar-samar aku bisa mendengar percakapan mereka, percakapan tidak penting. Aku jadi semakin yakin kalau yang sedang ditelpon itu perempuan, karena kakakku memanggilnya ‘Gek’—panggilan untuk perempuan.
            Semenjak putus dengan pacar pertamanya lima tahun yang lalu kakakku terus menutup dirinya untuk cinta. Betahun-tahun patah hati mengharap cinta yang sama dari mantannya yang sudah jelas-jelas menyakitinya. Lima tahun dia tidak bisa move on, lima tahun juga dia menyibukan dirinya dan menutup hatinya untuk wanita yang ingin mendekat. Apakah ini artinya dia sudah move on? Tapi siapa kira-kira gadis itu? Entahlah, hanya kakak yang tahu. Aku lalu meninggalkan kamar kakakku saat percakapan mereka tidak ada habisnya. Aku jadi lupa kalau tujuan awalku itu buang air.
*
Sore itu adalah jadwal rutinku berlatih gender dengan Kak Saputra. Dia benar-benar penyabar, dia tidak pernah memarahi kebodohanku. Dia malah memotivasiku agar bisa cepat belajar. Tidak sampai dua minggu dengan frekuensi pertemuan hampir setiap hari kini aku sudah bisa memainkan beberapa lagu. Ternyata masih ada bakat seni dalam darahku walaupun hanya sedikit.
Anehnya semenjak dia melatihku Kak Saputra sudah tidak pernah sama sekali membicarakan Prabha? Bahkan saat aku menanyakan Prabha dia cenderung mengalihkan pembicaraan. Apakah ada yang salah dengan hubungan mereka? Entahlah.
Hari ini spesial, untuk merayakan keberhasilanku aku mentraktirnya mie ayam. Dia tentu saja mengiyakan ajakanku ini. Entah kenapa kami jadi semakin dekat, seperti dua orang sahabat baru. Sahabat? Tidak apa-apa kan?
*
Aku pulang agak larut hari ini. Saat aku sampai di rumah Ibu dengan hebohnya menghampiriku dengan raut wajah sumbringahnya. Dia menarikku masuk ke kamar, wajahnya sangat bahagia.
“Wik, tau enggak? Bli mu bawa pacar barunya ke rumah!” seru Ibu bersorak kegirangan.
            Mataku melotot. Aku tersenyum sumbringah. Benar kan dugaanku waktu ini?! Aku ikut berdiri dan melompat-lompat kegirangan bersama ibuku. “Yang bener? Akhirnya setelah lima tahun Bli Bagus akhirnya dapat pacar? Orangnya gimana, Bu? Cantik?” tanyaku penasaran.
            Ibuku mengangguk. “Cantik, dia penari. Dia juga satu sekolah sama kamu.”
            Aku melongo. “Satu sekolah? Intinya selisih umurnya jauh dong sama Bli Bagus?”
            “Iya, kira-kira lima tahunan gitu, tapi enggak apa-apa. Yang penting ibu senang dia sudah ada pacar sekarang.”
            Aku masih tidak percaya. Lima tahun? Artinya dia kakak kelasku dong? Aku sudah tidak bisa menahan diri lagi. Dengan mengendap-endap, aku mengintip kakakku dan pacarnya yang sedang berduan di kamar. Walaupun di larang aku tidak peduli, dengan hati-hati aku sibak korden jendela kamar kakakku. Pas sekali mereka berhadapan denganku jadi aku bisa melihat dengan jelas wajah mereka. Mataku membulat saat melihat siapa gadis yang tengah dipeluk oleh kakakku. Dadaku sesak, nafasku tercekat, mendadak tubuhku terasa panas. Aku mengepalkan tanganku erat-erat.
            Wajah itu, kulit itu, tubuh itu. Itu Prabha!
            Gila! Gadis itu gila! Berani-beraninya dia! Dia kan pacar Kak Saputra? Kenapa berani-beraninya dia memacari kakakku?
            Aku tidak sanggup melihat pemandangan menjijikan di depanku. Segera aku bangkit dan berjalan dengan kesal ke kamar. Iya! Aku harus memastikan sesuatu!
            Segera aku raih ponselku setelah memencet beberapa tombol aku dekatkan ponselku ditelinga. Agak lama aku menunggu sampai akhirnya orang itu mengangkat teleponku.
            “Halo, Ewik. Ada apa?”
            Aku nampak ragu untuk menanyakan hal ini. Haruskan aku basa-basi dulu? Tidak, dia sudah tidak ada waktu. “Kak Saputra. Kakak... masih pacaran sama Kak Prabha kan?” tanyaku langsung pada inti masalah.
            Kak Saputra nampak kaget diujung sana. Dia nampak ragu untuk menjawab pertanyaanku. Sampai akhirnya dia menjawab. “Iya, kami masih pacaran. Kenapa?”
            Tubuhku lemas, ponsel itu jatuh karena tidak sanggup aku genggam lagi. Dadaku semakin sakit, gejolak amarah dalam jiwa memuncak. Aku kepalkan tanganku erat-erat. Prabha! Apa yang salah dengan gadis itu? Dia masih berpacaran dengan Kak Saputra tapi berani-beraninya dia berpacaran dengan kakakku?! Apa kakakku tidak tahu soal hubungan mereka? Tapi Kak Saputra pernah bercerita kalau dia dekat dengan Bli Bagus. Kalau memang begitu meningat usia hubungan Kak Saputra dengan Prabha yang menginjak tiga tahun masa kakaknya tidak tahu kalau Prabha pacar Kak Saputra?
            Apa kakaknya tidak tahu? Atau kakaknya sudah tahu tapi sudah terjebak pesona Prabha? Apa taksu si penari itu begitu besar sehingga membutakan kakaknya? Prabha memang memiliki aura memikat yang bisa menaklukan hati semua pria tapi apa harus kakaknya? Kenapa saat kakaknya move on dia jatuh ke tangan orang yang salah? Oh tuhan apa yang salah dengan orang-orang disekitarnya!

***



Foto from : http://www.seasite.niu.edu/indonesian/budaya_bangsa/balinese_dance/penari.lowres.jpg
Cerita ini hanya fiksi belaka, karya ini awalnya sempat saya kirim ke majalah remaja tapi ditolak atau apa soalnya gak ada kabar. Enjoy! Kalo disebarluaskan inget copyright! ;)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar